Jejak Keturunan Huo Yuanjia Di Indonesia


Terima Kasih kepada Halaman Sungai dan Telaga, Sdri. Grace Tjan

Heroes

Setelah Huo Yuanjia wafat pada tahun 1909, Perkumpulan Olahraga Chinwoo di Shanghai dilanjutkan oleh putra keduanya, Huo Dongge (霍东阁) (1895-1956), sedangkan putra tertuanya, Huo Dongzhang, tetap tinggal di kampung halaman mereka di Tianjin bersama sang ibu, Nyonya Wang. Huo Dongzhang bekerja sebagai seorang petani dan tak mewarisi ilmu silat ayah mereka.
Pada tahun 1920 Huo Dongge mendirikan cabang Perkumpulan Olahraga Chinwoo di Guangdong, namun karena situasi yang tak menentu di Tiongkok saat itu, tiga tahun kemudian ia memutuskan untuk merantau ke Indonesia. Istri Huo Dongge tidak bersedia ikut merantau dan tetap tinggal di Tianjin bersama kedua putra mereka, Huo Yaning dan Huo Wenning. Setibanya di Surabaya, Huo Dongge berusaha untuk mengajak orang-orang Tionghoa setempat untuk bergabung dalam Perkumpulan Olahraga Chinwoo, namun kurang mendapat sambutan karena masyarakat Tionghoa di sana lebih mementingkan pelajaran sekolah dibandingkan dengan mempelajari kungfu. Ketika sekolah Tionghoa mengadakan acara pengumpulan dana, Huo Dongge diundang untuk mempertunjukkan ilmu silat keluarganya, yaitu Tinju Keluarga Huo dan Delapan Dewa Mabuk. Pertunjukan itu disambut dengan meriah, dan sejak saat itu, Perkumpulan Olahraga Chinwoo menjadi populer di kalangan pemuda Tionghoa setempat. Perkembangan pesat Perkumpulan Olahraga Chinwoo Surabaya membuat Huo Dongge kewalahan, sehingga ia mengajak keponakannya, Huo Shousong (霍寿嵩) (1907- 1970), putra Huo Dongzhang, datang ke Surabaya untuk membantunya. Di bawah kepemimpinan paman dan keponakan ini, Perkumpulan Olahraga Chinwoo berkembang pesat di Indonesia dan berhasil mendirikan cabang di Jakarta (1925), Cirebon, Bandung dan berbagai kota lain di Jawa.
Huo Dongge sendiri lalu menetap di Bandung untuk mengurus cabang Perkumpulan Olahraga Chinwoo di kota tersebut. Karena prihatin melihat wabah malaria yang berkecamuk dan kurangnya tenaga medis di Pulau Jawa saat itu, ia membuka praktek pengobatan. Dengan memanfaatkan ilmu pengobatan warisan keluarganya, ia berhasil meramu obat malaria yang dinamai ‘Pil Bandung’ (万隆丸), pil ini dikenal ampuh sehingga disebut sebagai ‘Pil Penyambung Nyawa’ oleh orang Indonesia dan sempat diekspor ke Tianjin ketika terjadi wabah malaria di sana. Di Bandung, Huo Dongge menikah untuk kedua kalinya dengan seorang perempuan Tionghoa setempat bernama Ye Yumei (叶玉梅), dari pernikahan kedua ini lahir seorang putra bernama Huo Wenliang dan seorang putri bernama Huo Yuehua.
Setelah menetap di Indonesia, Huo Dongge dua kali pulang ke Tianjin, yaitu pada tahun 1926 dan 1935. Ketika pulang ke Tianjin untuk pertama kalinya, kakaknya, Huo Dongzhang, kecewa karena ia tak mengajak Huo Shousong, putra sang kakak yang sudah 13 tahun tidak pernah pulang kampung. Huo Dongge menjelaskan bahwa Huo Shousong tak bisa ikut karena jarak yang jauh dan kesibukannya di Surabaya, namun alasan ini tak bisa diterima oleh sang kakak. Huo Dongzhang curiga bahwa adiknya telah membunuh Huo Shousong dan mengugatnya ke pengadilan. Karena masalah ini, dan karena kecewa tak diperbolehkan membawa putra sulungnya, Huo Yaning, ke Indonesia, Huo Dongge meninggalkan Tianjin. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk membeli beberapa senjata dari sebuah toko senjata terkenal. Sesampainya di Surabaya, Huo Dongge segera mengajak Huo Shousong ke studio foto untuk berpose dengan senjata-senjata tersebut, untuk membuktikan bahwa sang keponakan masih hidup. Berdasarkan bukti foto tersebut, Huo Dongzhang akhirnya menarik gugatannya. (Foto1: ada di kolom komentar)(Foto 1: Huo Dongge dan Huo Shousong dengan plakat bertuliskan “Foto Bersama Huo Dongge dan Huo Shousong, 24 April Tahun ke 25 Minguo di Surabaya, Jawa”. –Lihat di kolom komentar)

Saat pulang untuk kedua kalinya di tahun 1935, Huo Dongge merasa masygul karena walaupun Perkumpulan Olahraga Chinwoo telah berkembang pesat di seantero Asia Tenggara, di kampung halaman mereka sendiri, perkumpulan ini tidak eksis. Ia pun berusaha mendirikan cabang Perkumpulan Olahraga Chinwoo di Tianjin, namun akhirnya gagal karena kurang mendapatkannya sambutan masyarakat.
Ketika Jepang menyerang Tiongkok, Huo Dongge aktif berjuang menggalang dana dan sukarelawan untuk dikirim ke Tiongkok. Karena aktifitasnya ini, ketika Jepang menduduki Indonesia, Huo Dongge ditangkap Kempeitai dan dijebloskan ke penjara. Di penjara, Huo Dongge membangkitkan semangat para tahanan dengan mengarang lagu-lagu perjuangan.
Setelah zaman pendudukan Jepang, dan berdirinya Republik Indonesia, karena berbagai sebab, kegiatan Perkumpulan Olahraga Chinwoo tak bisa dilanjutkan lagi, dan Huo Dongge yang saat itu berusia 50 tahun memutuskan untuk berkonsentrasi pada ilmu pengobatan. Ia mendirikan pabrik obat dan klinik patah tulang di Bandung. Pada tahun 1956, Huo Dongge wafat pada usia 62 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Tionghoa Cikadut. Upacara pemakamannya dihadiri oleh perwakilan berbagai organisasi Tionghoa di Jawa.
Huo Shousong yang tinggal di Surabaya menjadi guru olahraga di sekolah Tionghoa, sekaligus berpraktek sebagai sinshe patah tulang. Kehidupannya sebagai guru olah raga dan sinshe yang terkadang tidak dibayar boleh dibilang susah, namun untung saja, sang istri, Ye Shuiniang, pandai bekerja dan mampu membantu ekonomi keluarga. Setelah terpaksa pensiun karena sakit asma pada tahun 1951, ia digantikan oleh putrinya, Huo Lizhen, yang saat itu baru lulus SMA. Setelah RRT berdiri, Huo Shoushong mengirim putri-putrinya, Huo Lizhen dan Huo Lijuan, belajar ke Tiongkok, sedangkan putranya, Huo Gongzheng, tetap tinggal di Indonesia dan berpraktek sebagai sinshe patah tulang. (Foto 2: keluarga Huo Shousong di Surabaya, lihat di kolom komentar)

Saat ini, cicit perempuan Huo Dongge dari putranya Huo Wenning yang bernama Huo Jinghong, adalah satu-satunya keturunan Huo Yuanjia yang masih mempraktekkan ilmu silat warisan keluarganya di Tianjin.
Keturunan Huo Yuanjia lain yang masih tinggal di Indonesia kabarnya telah menjadi WNI.

Grace Tjan

Dirangkum dari berbagai sumber:
https://kknews.cc/zh-cn/history/59jek46.html
http://www.chinanews.com/cul/2010/08-31/2502081.shtml
http://www.chinanews.com/cul/2010/08-27/2496253.shtml